Senin, 14 Juni 2010

Tata Ruang dan Kerusakan yang berkelanjutan




Beranjak dari kata tata dan ruang maka makna tersirat didalamnya adalah sebuah ketertiban, keteraturan, disiplin dan tindakan terencana didalam pemanfaatan suatu ruang sehingga mudah untuk dimonitoring dan dievaluasi. Hal – hal yang bersifat tidak teratur akan mudah dideteksi dan diperbaiki.
Hamparan ruang Negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke tersekat habis oleh batas – batas administrasi baik dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi. Diantara sekat – sekat batas tersebut muncullah tata ruang, tata ruang desa/kelurahan, tata ruang kecamatan, tata ruang kabupaten/kota, tata ruang provinsi dan tata ruang nasional ditambah juga dengan sekat – sekat alamiah berupa kepulauan sehingga muncul juga tata ruang pulau baik tata ruang pulau - pulau besar maupun tata ruang pulau – pulau kecil.
Dalam konteks untuk mensejahterakan rakyat, seyogyanya tata ruang adalah milik publik untuk bisa diketahui dan diakses oleh semua lapisan masyarakat. Dengan diketahui dan kemudahan akses oleh masyarakat maka semua bisa mematuhi dan mengawasi sehingga tata ruang bisa tetap konsisten baik pada peruntukannya maupun dalam implementasi sekat – sekat batas yang telah ditentukan.
Di Indonesia sendiri aturan – aturan tentang tata ruang ini cukup banyak antara lain : Undang-Undang Nomer 24 tahun 1992 tentang penataan ruang. Pedoman ini sebagai landasan hukum yang berisi tentang kewajiban setiap Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk menyusun tata ruang wilayah sebagai arahan pelaksanaan pembangunan daerah. Kewajiban Daerah untuk menyusun tata ruang berkaitan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah.Menindak lanjuti Undang-Undang tersebut di atas, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 menetapkan enam pedoman bidang penataan ruang, meliputi : Pedoman penyusunan RTRW propinsi; Pedoman Penyusunan Kembali RTRW propinsi; Pedoman penyusunan RTRW kabupaten; Pedoman penyusunan kembali RTRW kabupaten; Pedoman penyusunan RTRW perkotaan; Pedoman penyusunan kembali RTRW perkotaan. Undang – undang lainnya adalah undang – undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang – Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Tata-cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang, Peraturan pemerintah nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Dari aturan – aturan diatas tata ruang dibuat dan diharapkan menjadi panduan pembangunan sesuai skala ruangnya, sehingga kesinambungan dan arahnya lebih jelas meskipun dalam pemerintahan orang – orang yang duduk didalamnya mengalami pergantian.
Dalam proses pembuatan tata ruang dengan berdasarkan aturan – aturan yang ada, dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan dari yang bersifat top down ke arah partisipatif. Masing – masing mempunyai keunggulan dan kelemahan sehingga proses ini perlu dikombinasikan untuk saling melengkapi bukan menegasikan satu proses terhadap proses yang lainnya. Meskipun dalam tataran konseptual dan tehnis hal tersebut akan sangat berpengaruh. Dalam proses top-down bahwa tata ruang dengan level lebih luas menjadi pedoman atau acuan tata ruang – tata ruang dibawahnya. Dan pada kenyataannya banyak tata ruang pada level bawah tidak terlalu diakomadatif oleh tata ruang diatasnya meskipun sekat batas yang dibuat adalah sekat batas yang bersifat lebih umum.
Tata ruang yang dibuat secara top down cenderung menjadikan seragam untuk semua daerah tanpa melihat karakteristik daerah yang berbeda - beda dan tata ruang ini memudahkan pusat (pemerintah pusat ) untuk mengontrol tata ruang – tata ruang dibawahnya sehingga keleluasaan daerah menyusun tata ruangnya harus menyesuaikan rambu – rambu yang telah digariskan oleh tata ruang diatasnya. Daerah seakan – akan harus tunduk dan patuh tanpa syarat terhadap pusat termasuk dalam mengatur tata ruang daerahnya sendiri. Kekuasan pusat begitu dominan dan bayang – bayang itu masih ada hingga sekarang. Parahnya kondisi ini digunakan untuk menguras dan mengeksploitasi potensi dan sumberdaya alam daerah habis - habisan. Pengaruh yang sangat bisa dirasakan adalah eksploitasi kayu atas nama Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan ijin – ijin pertambangan. Contohnya di wilayah Kalimantan Tengah sumber daya hutan yang begitu besar habis tanpa menyisakan kesejahteraan untuk masyarakatnya kecuali segelintir orang yang dekat dengan pengusaha dah kekuasaan. Pun begitu juga untuk pertambangan, masyarakat hanya mendapatkan limbah dan lingkungan yang hancur tanpa mengenyam hasil tambang yang melimpah ruah. Lingkungan dan masyarakat menjadi korban akibat pemanfaatan tata ruang yang dibuat karena pesanan segelintir pemodal yang tidak bertanggungjawab kecuali mencari keuntungan pribadi dan kelompok semata.
Euphoria reformasi dan otonomi daerah yang telah berjalan dalam beberapa tahun ini mulai kelihatan tidak sinkron dengan tujauan awal. Begitu juga dalam pembuatan tata ruang, bukan menjadi lebih baik seperti yang diharapkan namun menjadi semakin kacau karena multi tafsirnya tiap daerah dalam memaknai kenapa harus dibuat tata ruang. Tradisi dari pusat untuk menguasai dan mengeksploitasi diteruskan di daerah dan itu semua dilakukan untuk menjadi raja – raja kecil. Otonomi daerah yang ruhnya adalah keadilan dan kesejahteraan menjadi berbeda dalam kenyataan dilapangan.Tata ruang dibuat bukan untuk memastikan bahwa pengelolaan sunberdaya alam bisa berkelanjutan namun dibuat untuk mengeksploitasi sisa – sisa yang bisa dieksploitasi tanpa memikirkan jangka panjang kecuali untuk kepentingan sesaat atau selama kekuasaannya yang hanya lima tahun atau sepuluh tahun jika terpilih kembali. Atas nama peningkatan pendapatan asli daerah dan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat namun sebaliknya yang didapatkan lingkungan semakin hancur dan kepastian sumber daya alam untuk dapat dinikmati anak cucu semakin tidak jelas kecuali menyisakan kerusakan alam dan sosial disana – sini.
Partisipatif dalam pembuatan tata ruang yang mulai dibuka krannya dalam beberapa perundangan dan peraturan tata ruang belum digunakan secara optimal. Partisipatif dalam konsultasi publik digunakan bukan untuk mendapatkan masukan yang bersifat memperbaiki namun digunakan untuk sekedar mendapatkan legalitas formal saja. Bahkan tata ruang ini hanya sekedar dijadikan proyek dan tidak jelas implementasi dilapangan. Regulasi dibaliknya hanya menjadi macam ompong semata tanpa mampu mengikat pelanggaran atas tata ruang yang ada. Meskipun saat ini dalam pembuatan tata ruang dilampirkan bagi yang melanggar dikenai sanksi namun itu bukan menjadikan jera bagi para pelanggar yang umumnya dilakukan oleh oknum - oknum pengusaha besar, aturan itu digunakan seakan – akan hanya untuk masyarakat kecil saja yang bisa mendapatkan sanksi tersebut.
Kekacauan tata ruang semakin menjadi ketika terjadi tumpang tindih dengan “tata ruang” dari berbagai sektor yang semestinya terkoordinasi dalam tata ruang itu sendiri. Seperti adanya tumpang tindih antara tata guna hutan kesepakatan (TGHK) Departemen Kehutanan. Tata Ruang yang seharusnya menjadi solusi dari permasalahan menjadi sumber masalah. Kesemrawutan permasalahan ini seyogyanya mesti segera diselesaikan sebelum semakin sulit dipecahkan dan pada akhirnya masyarakat dan lingkungan menjadi korban.
Duduk bersama oleh semua pihak untuk mengevaluasi dan menerima kesalahan jika melakukan kesalahan dan mendudukkan posisi subjek tata ruang pada posisi yang sebenarnya sedikit banyak akan mengurangi masalah tata ruang ini. Kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat mestinya menjadi panglima dalam pembuatan tata ruang bukan kepentingan ekonomi sesaat. Transparansi, Penegakan dan kepastian hukum bagi pelanggaran atas tata ruang akan menjaga konsistensi tata ruang tersebut di semua level dalam implementasi di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar